![]() |
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Batasan Pengusaha Kecil PPN, pengusaha yang wajib menjadi PKP adalah pengusaha yang dalam satu tahun buku memiliki omzet minimal Rp4,8 miliar. Namun, meskipun pengusaha belum mencapai omzet tersebut, pengusaha dapat mengajukan permohonan sebagai PKP.
Meski ditujukan kepada PKP, PPN tersebut dibebankan kepada konsumen akhir. PKP hanya berkewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN. Dengan demikian, PPN bukan pajak yang dikenakan ke PKP, melainkan PKP hanya bertugas untuk memungut, menyetor, dan melaporkan, sedangkan yang berkewajiban untuk membayar PPN adalah konsumen akhir.
For your information, PPN adalah salah satu pajak yang wajib kita bayarkan saat melakukan transaksi jual beli yang termasuk dalam ubjek BKP (Barang Kena Pajak) atau Jasa Kena Pajak (JKP).
Lalu, berapa besaran PPN yang ditetapkan pemerintah saat ini?
Sejak berlakunya Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP yang telah disahkan oleh Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 7 Oktober 2021 lalu, terdapat penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% (sebelas persen) mulai 1 April 2022 dan akan menjadi 12% (dua belas persen) mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025. Penyesuaian tarif tersebut terdapat dalam Bab IV Pasal 7 UU HPP.
Dari peraturan tersebut, berarti telah jelas bahwa Pemerintah Indonesia akan memberlakukan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen paling lambat mulai 1 Januari 2025 mendatang.
Dengan kenaikan PPN ini, pemerintah menargetkan untuk meningkatkan pendapatan negara sebesar 6,4 persen pada tahun depan, menjadi Rp2.996,9 triliun. Dari jumlah itu, Rp2.490,9 triliun di antaranya berasal dari penerimaan pajak.
Siapa yang Mengusulkan Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai Menjadi 12 Persen?
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 diambil dari banyak pertimbangan berat dan bukan tanpa alasan oleh pemerintah.
Tujuan dari kenaikan PPN ini adalah untuk meningkatkan pendapatan negara. PPN memegang peranan penting dalam mendanai berbagai program pemerintah karena PPN merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara.
Hal ini juga diperburuk dengan adanya pandemi COVID-19 yang memang memperburuk kondisi fiskal. Sehingga kenaikan PPN ini sebagai upaya untuk memperbaiki anggaran pemerintah.
Kenaikan PPN ini juga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan negara terhadap utang luar negeri. Seperti yang kita tahu, Indonesia masih sering bergantung pada utang luar negeri untuk menutupi defisit anggaran. Dengan meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah berupaya untuk mengurangi penggunaan utang dan menjaga stabilitas ekonomi negara dalam jangka panjang.
Selanjutnya, kenaikan PPN menjadi 12 persen ini dimaksudkan agar sesuai dengan standar internasional. Ini masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara maju lainnya.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, juga menyampaikan bahwa rata-rata PPN di seluruh dunia, termasuk negara Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), memiliki tarif PPN sebesar 15 persen.
Tambahan, perusumusan undang-undang ini pertama kali diiniasi oleh PDIP saat mereka memimpin pembahasan di DPR RI periode 2019 – 2024. PDIP juga yang langsung mengomandoi Panitia Kerja (Panja) mengenai pembahasan kenaikan PPN.
Siapa yang Mengesahkan PPN menjadi 12 Persen pada 2025?
Pemerintah bersama DPR-RI sepakat untuk mengesahkan RUU HPP menjadi UU pada Kamis, 7 Oktober 2021 dalam Rapat Paripurna ke-7 DPR-RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022. Kemudian disahkan oleh Wakil Ketua DPR-RI Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) Muhaimin Iskandar di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta.
Ada total delapan fraksi di DPR-RI yang menyetujui pengesahan UU HPP ini, yakni fraksi PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PAN dan PPP. Sementara, fraksi PKS menolak dengan pertimbangan tidak sepakat dengan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen yang kontraproduktif dengan pemulihan ekonomi nasional.
PKS juga menolak kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, pelayanan sosial, dan layanan keagamaan kena pajak.
Perlu diketahui pula sistematika UU HPP ini terdiri dari 9 bab dan 19 pasal. UU ini telah mengubah beberapa ketentuan di UU lainnya, di antaranya UU KUP, UU Pajak Penghasilan, UU PPN, UU Cukai, UU 2/2020, dan UU 11/2020 cipta kerja.
Beragam Protes yang Dilayangkan
Setelah berjalan lebih dari dua tahun dengan PPN 11 persen, kini tiba di penghujung tahun 2024 di mana mulai tahun 2025 PPN akan bertambah 1 persen atau menjadi 12 persen. Nampaknya rencana kenaikan ini tidak berjalan dengan mulus, tidak seperti kenaikan PPN ke 11 persen pada waktu itu yang hanya menimbulkan sedikit protes, kenaikan ke 12 persen justru malah menimbulkan banyak sekali protes tak terkecuali di media sosial.
Banyak warganet yang menaikkan tagar #TolakKenaikanPPN, #PajakMencekik dan bahkan muncul petisi kepada Pemerintah untuk segera membatalkan kenaikan PPN yang telah ditandatangani sebanyak lebih dari 177 ribu tanda tangan dari yang ditargetkan oleh inisiator petisi sebanyak 200 ribu tanda tangan. Pembuat petisi menganggap kenaikan PPN menjadi 12 persen menyulitkan rakyat. Dia mengingatkan daya beli masyarakat yang sedang buruk.
Pada Kamis, 19 Desember 2024 lalu anak-anak muda, kelompok perempuan, gamers hingga penggemar K-Pop menyuarakan penolakannya di depan Istana Negara di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, pada pukul 14.00. Dan tidak hanya itu, bahkan beberapa content creator, politisi dan partai-partai pun turut memberikan komentar mengenai kenaikan tarif PPN ini.
Politisi yang turut memberikan komentar mengenai kenaikan PPN ini adalah Ganjar Pranowo, Politisi PDIP. Dalam reels Instagramnya, ia membandingkan tarif PPN dengan negara-negara di ASEAN. Ia juga mengatakan bahwa kenaikan PPN ini adalah badai besar yang dapat merobohkan pohon-pohon kehidupan.
Selain itu, beberapa partai politik juga memberikan komentar. Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI, Jazilul Fawaid mengatakan bahwa perdebatan terkait kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen tidak diperlukan lagi. Ia juga mengatakan bahwa kenaikan PPN ini telah disetujui oleh semua partai di DPR kecuali PKS pada 2021 lalu.
Meski begitu, Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI menganggap wajar jika terjadi polemik saat kenaikan PPN 12 persen.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Rahayu Saraswati, heran atas pernyataan salah satu Anggota DPR dari Fraksi PDIP yang meminta batalkan kenaikan PPN 12 persen.
Padahal, kata dia, saat pembahasan Undang-Undang (UU) yang mengamanatkan kenaikan PPN bertahap hingga ke 12 persen ketua Panitia Kerja (Panja) berasal dari Fraksi PDIP.
Terpisah, Wakil ketua Badan Anggaran sekaligus anggota Fraksi Partai Gerindra, Wihadi Wiyanto, menjelaskan lebih rinci peran PDIP dalam merumuskan kebijakan yang tengah menjadi sorotan publik ini.
Wihadi mengatakan dalam proses perumusan aturan ini, PDIP bahkan langsung mengomandoi panja pembahasan kenaikan PPN.
Dengan begitu, ia merasa keberatan bila ada pihak yang menyudutkan Presiden Prabowo Subianto seolah-olah keputusan kenaikan PPN 12 persen ini merupakan kebijakannya di 100 hari pemerintahannya.
Di lain sisi, Ketua DPP PDIP, Deddy Sitorus bahwa partainya tidak menolak penerapan PPN 12 persen yang menjadi amanah UU HPP ini.
Fraksi PDIP, kata Deddy, hanya meminta pemerintah untuk mengkaji ulang pemberlakuan kebijakan itu dengan mempertimbangkan ekonomi masyarakat saat ini.
Deddy mengklaim, bahwa PDIP tidak bermaksud menyalahkan Presiden Prabowo Subianto soal rencana penerapan kebijakan tersebut mulai Januari 2025. Dia beralasan bahwa partainya justru tidak ingin ada persoalan baru yang muncul di awal pemerintahan Prabowo imbas kenaikan PPN 12 persen tersebut.
Jadi, Siapa yang Salah?
Meningkatnya tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen di Indonesia telah memicu berbagai reaksi dan perdebatan di berbagai kalangan. Kebijakan ini didorong oleh tujuan peningkatan pendapatan negara untuk mendanai program-program pemerintah yang esensial dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Namun, penyesuaian ini juga muncul di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi COVID-19, yang memengaruhi daya beli masyarakat.
Pro dan kontra atas kenaikan ini menyoroti kompleksitas kebijakan fiskal dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan rakyat. Banyak pihak yang merasa bahwa kenaikan ini dapat memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, sementara pemerintah berargumen bahwa kebijakan ini diperlukan untuk menjaga stabilitas fiskal negara. Meskipun demikian, penting untuk mengkaji lebih lanjut bagaimana kebijakan ini akan diimplementasikan dengan memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat luas, sehingga dapat mencapai tujuan tanpa mengabaikan kesejahteraan rakyat. Jadi, daripada mencari pihak yang disalahkan, lebih bijak untuk fokus pada pencarian solusi yang mempertimbangkan kepentingan seluruh pihak terkait.
0Komentar